HUT PERSIPURA: Mari Kita Luruskan Sejarah Si Mutiara Hitam

JAYAPURA , GP— Sudah saatnya para pendiri, mantan pemain, pengurus serta manajemen Persipura duduk bersama untuk meluruskan apakah 1 Mei 1963 atau 25 Mei 1965 merupakan hari lahir tim sepak bola asal Bumi Cendrawasih itu.

“Saya kira, semua pihak harus terlibat dalam meluruskan sejarah lahirnya Persipura apakah 1 Mei 1963 atau 25 Mei 1965 sehingga masyarakat tidak dibuat bingung,” kata Politikus partai Hanura Provinsi Papua Jack Komboy, menanggapi polemik hari lahirnya tim Persipura Jayapura, Rabu (1/5/2013).

Jack menjelaskan  jika baru tahu bahwa hari lahirnya Persipura pada 25 Mei 1965, bukan seperti yang beredar saat ini di Kota Jayapura yakni pada 1 Mei 1963.

“Saya juga baru tahu sejarah Persipura di seminar Jasmerah yang diadakan oleh Majalah Jubi pada Selasa (30/4) kemarin. Saya berharap para mantan pemain, pengurus dan manajemen Persipura bisa duduk bersama untuk membahas ini lebih lanjut sehingga bisa memutuskan mana yang benar tentang kapan terbentuknya tim ini,” kata mantan pemain Persipura seangkatan Eduard Ivakdalam.

Menurut pria asal suku Biak tersebut, pada saat seminar Jasmerah dia mendengarkan penjelasan dari para pengurus pertama Persipura dan mantan pemain yang lebih senior darinya bahwa tim tersebut dideklarasikan pada 25 Mei 1965 maka dia berharap agar hal itu segera dikomunikasikan dengan pengurus dan manejemen Mutiara Hitam saat ini.

“Masalah ini secepatnya harus segera disampaikan kepada pengurus dan manajemen Persipura saat ini terutama kepada ketua umum Pesipura,” katanya.

Seharusnya, sambungnya, 2-3 tahun lalu hal ini sudah mulai dibicarakan agar tidak terjadi salah informasi di tengah masyarakat.

Secara terpisah Sekertaris Umum Persipura Jayapura saat ini Thamrin Sagala pada saat seminar Jasmerah dirinya hadir mewakili Ketua Umum Benhur Tomy Mano dan telah mencatat semua masukan serta usulan yang akan segera diteruskan kepada pengurus dan manajemen. “Saya kira ini masukan yang bagus yang didapatkan dalam seminar itu. Saya akan sampaikan kepada Bapak Ketum Persipura sehingga masalah ini bisa lebih baik dan jelas,” katanya.

Pada Selasa (30/4/2013) kemarin bersamaan dengan peluncuran Majalah Jubi telah dilaksanakan seminar Jasmera “jangan sekali-kali melupakan sejarah Persipura” disalah satu hotel ternama di Kota Jayapura.

Dan dalam seminar tersebut yang menjadi pemateri adalah sekertaris Persipura Thamrin Sagala, Ketua Asosiasi Mantan Pemain Persipura Benny Jensenem dan mantan ketua umum pertama Persipura Pendeta Mesack Koibur. Serta Dominggus Mampioper wartawan olah raga nasional goal.com Indonesia, dengan pembawa acara Roberth Wanggai redaktur Tabloidjubi online dan Majalah Jubi.

Hadir pula para mantan pemain Persipura era 70-an dan 80-an seperti Alberth Pahelerang, Yotam Fonataba, Hengky Heipon, Benny Jansenem, Yapi Rumbrar, Ricard Fere dan Rully Nere. Dan juga para pemerhati olah raga Papua seperti Carol Renwarin, Lien Maloali, Rudi Mebri dan Jack Komboy mantan pemain Persipura yang kini menjadi politikus dari partai Hanura.

Seminar yang berlangsung kurang lebih lima jam itu lebih banyak berbicara tentang sejarah lahirnya tim “mutiara hitam” serta logo dan baju kebesaranya. (Antara)

Belakang: hengky Heipon, Tony Betay depan Yafet Sibi, Rully Nere, Pieter Aitiamuna dan Alberth Pehelerang-dok

Saat Persipura melawan “teriakan rasis,” di medan laga

Jayapura, Jubi – Terkadang semua pihak menilai dalam pertandingan sepak bola di Indonesia bebas dari teriakan rasis. Tapi ternyata tak seindah ucapan di bibir dengan kenyataan di lapangan khususnya saat bertanding maupun berlatih dalam ujicoba lapangan. Apalagi kompetisi di tengah si pengadil lapangan mengeluarkan keputusan kontroversial membuat emosi pemain meledak-ledak.

M Raja Isa pelatih Persipura asal negeri jiran Malaysia

Mantan pelatih kepala Persipura M Raja Isa pernah mengatakan agar anak anak Persipura bermain hati-hati karena dalam sepak bola Indonesia si pengadil lapangan memberikan keputusan kontroversial. Hal ini lanjut pelatih yang pernah kena bogem mentah di lapangan menambahkan bisa membuat emosi pemain meningkat dan hilang konsentrasi mereka dalam bermain.

“Meski kita selalu berdoa tapi gangguan seringkali terjadi mulai dari melawan tim tuan rumah, penonton dan wasit,”katanya kepada Jubi.co.id kala itu.

Bahkan dia menambahkan teriakan rasis pun tak lepas pula dari mulut mereka yang menyaksikan saat berlatih maupun bertanding.

Keluhan pelatih asal negeri jiran ini pernah pula dikatakan kepada Koran Tempo edisi 22 Desember 2007. “Anak anak tidak bisa berkonsentrasi karena dipanggil monyet,”katanya saat Persipura mengalami pengalaman buruk saat bertandang di Balikpapan dan Jepara.

Dia mengatakan di dua kota tersebut, pemain-pemain Persipura mendapatkan teror bernada rasisme dari penonton yang membuat konsentrasi mereka berantakan.

Lain pula dengan pelatih Persipura asal Brasil Jacksen F Tiago mengakui kalau ungkapan penghinaan terhadap pemain dan pelatih Persipura harus selalu dibalas dengan kemenangan dan dukungan doa dari semua masyarakat di tanah Papua.

Kemenangan Persipura atas Sriwijaya FC di Stadion Jakabaring membuat Jacksen F Tiago berjingkrak-jingkrak saat Nelson Alom mencetak gol kemenangan kedua dari jarak jauh. Padahal  saat itu tim berjuluk Mutiara Hitam bermain di tengah tekanan dan teriakan rasisme.

Menanggapi kisruhnya terakan rasis di sepak bola Indonesia, tak ketinggalan seorang Aremania dari Depok mengirim surat pembaca ke Tabloid Bola edisi Selasa, 15-22 Desember 2009 berjudul, Maaf untuk Persipura.

Salam olahraga.

Setelah membaca banyak liputan di media cetak tentang pertandingan antara Arema melawan Persipura. Saya sebagai pendukung Aremania menyesalkan mengapa pertandingan itu diwarnai teriakan-teriakan bernada rasial yang dilontarkan penonton di Stadion Kanjuruhan Malang. Meski tidak jelas apakah yang melakukan teriakan itu Aremania murni atau sekadar oknum, sebagai warga Arema saya sungguh prihatin. Apalagi selama ini sebagai Aremania kita memiliki prinsip bahwa suara hati perjuangan dan panggilan jiwa kami hanya untuk Arema. Saya ingin prinsip itu jangan sampai dirusak secuil oknum yang ingin Aremania menjadi musuh publik di Indonesia. Kita harus tunjukan bahwa Aremania cinta damai serta harus bisa memberi contoh. Walau kita berbeda warna, tetap bersaudara.

Kepada seluruh anggota tim Persipura hingga seluruh pendukungnya, terutama warga Jayapura secara pribadi dan atas nama Aremania di seluruh Indonesia. Kami meminta maaf yang sebesar-besarnya jika beberapa oknum Aremania/Aremanita telah melukai perasaan kalian. Salam satu jiwa Aremania. Okim, ITC Depok Lt VI Blok B 55, Depok Jawa Barat.

Ketua Komisi Disiplin Badan Liga Indonesia saat itu Hinca Panjaitan bukan memberikan hukuman kepada penonton karena mungkin menganggap kurang bukti. Namun pemain Persipura Ortisan Solossa harus marah dan menghancurkan kursi stadion karena teriakan rasis. Cilakanya tim berjuluk Mutiara Hitam harus membayar denda akibat tindakan abang kandung Boaz T Solossa itu.

“Kami paham, mereka melakukannya karena kesal diperlakukan rasis oleh penonton,”ujar Ketua Komisi Disiplin Badan Liga Indonesia Hinca Panjaitan kala itu, Akibatnya tim berjuluk Mutiara Hitam harus membayar denda hukuman Rp 5 juta dalam laga ISL 2009/2010 dalam pertandingan antara Persipura melawan Arema FC

Peringatan teriakan rasis pernah pula diingatkan Panitia Pelaksana (Panpel) Pertandingan Arema FC Abdul Haris menghimbau agar Aremania julukan supporter Persipura agar tidak menyanyikan lagu yang berbau rasis saat laga Arema FC kontra Persipura pada pekan ke enam Liga 1 2018 lalu di Kanjuruhan Malang, Jumat (27/4/2018).

Haris mengakui kalau nyanyian rasis memang rawan terjadi di setiap laga melawan Persipura. Hal itu dapat memicu terjadinya kericuhan mengingat tim berjuluk Mutiara Hitam itu juga memiliki suporter yang cukup militan.

Sebenarnya teriakan rasis pernah pula dialami klub Madura United saat melawan Arema FC pada pertandingan terakhir Liga 1 musim 2019. Presiden Laskar Sapeh Kerrab julukan tim Madura United bahkan mengamuk lewat Instagram resmi Madura United. “Supoter harus jadi pemersatu. Ada unsur pendidikan bagi generasi berikutnya untuk terus merajut persatuan. Banyak anak-anak yang terlibat di tribun maupun menonton dari siaran langsung.”tulisnya.

Butuh mental tangguh

Liga Eropa sudah kembali bergulir setelah istirahan karena virus korona, namun sudahkah para supporter berbelok dari sudut nyanyian monyet? Tulis seorang kolumnis dari face2face Africa.com mengeritik teriakan dan nyanyian rasis menimpa pemain asal benua hitam Afrika. Sudahkah kita berbelok di sudut nyanyian monyet? Apakah kita masih akan mendengar bagaimana para pemain keturunan Afrika itu “kuat” tetapi tidak harus “cerdas”

Butuh mental yang tangguh dalam menghadapi teriakan rasis bagi seorang pesepak bola Afrika maupun berkulit hitam di mana pun di dunia ini. Terutama menyamakan manusia dengan seekor monyet alias monkey. Mulai dari teriakan meniru suara monyet sampai membuang kulit pisang ke dalam stadion. Bahkan mantan striker Barcelona Samuel Eto asal Kamerun setiap mencetak gol harus berjalan meniru gerakan monyet di lapangan. Tak ada lagi emosi hanya bercanda dengan kemarahan.

Winger Timnas Inggris, Raheem Sterling, ikut berkomentar ihwal aksi rasisme yang terjadi di laga kontra Montenegro. Pemain berusia 24 tahun itu mengalami teriakan rasis yang dilakukan tim tuan rumah Montenegro saat melawan Inggris dalam babak kualifikasi Euro 2020 di Stadion Pod Goricom, Selasa (23/3/2019). Ada teriakan mirip suara monyet yang ditujukan pada pemain Inggris yang berkulit hitam. Aksi yang tidak terpuji. Itulah teriakan rasis dalam abad ini membutuh kesabaran dan mental baja bagi pesepak bola kulit hitam menghadapi sebuah pertandingan mulai dari tingkat nasional, regional bahkan internasional. Meski FIFA bilang akan melawan rasisme dalam sepak bola dunia. (*)

Mutiara Hitam bukan klub biasa di tanah Papua

Jayapura, GP- Klub berjuluk Mutiara Hitam ini seakan akan dipaksakan lahir pada 1963 dari 1 Mei hingga akhirnya dinyatakan 26 Mei 1963. Padahal sepak bola di Hollandia sendiri melakukan babak final pada 30 April 1950 di Stadion Ratu Juliana (sekarang lapangan Trikora Abepura). Waktu itu warga berjalan kaki dari lapangan menuju Lapangan OSIBA di Kampung Yoka.

Pasalnya hampir sebagian besar anak anak Hollandia Voteball Bond berasal dari semua daerah Nederlands Nieuw Guinea bersekolah di Sekolah Beestur Pribumi sehingga punya klub terkenal Hollandia.

Skuad inilah pertama kali anak anak dari Brasil bergabung ada Julian Sousa, David Darocha dan Luis. Namun dari para pemain Brasil itu hanya David Darocha yang bertahan hingga meraih juara Liga Indonesia 2005-2006.

M Raja Isa pelatih asal negeri jiran Malaysia ini yang pertama kali marah karena anak anak Mutiara Hitam disebut monyet. Keluhan pelatih asal negeri jiran ini pernah pula dikatakan kepada Koran Tempo edisi 22 Desember 2007. “Anak anak tidak bisa berkonsentrasi karena dipanggil monyet,”katanya saat Persipura mengalami pengalaman buruk saat bertandang di Balikpapan dan Jepara.

Dia mengatakan di dua kota tersebut, pemain-pemain Persipura mendapatkan teror bernada rasisme dari penonton yang membuat konsentrasi mereka berantakan.

Lain pula dengan pelatih Persipura asal Brasil Jacksen F Tiago mengakui kalau ungkapan penghinaan terhadap pemain dan pelatih Persipura harus selalu dibalas dengan kemenangan dan dukungan doa dari semua masyarakat di tanah Papua.

Kemenangan Persipura atas Sriwijaya FC di Stadion Jakabaring membuat Jacksen F Tiago berjingkrak-jingkrak saat Nelson Alom mencetak gol kemenangan kedua dari jarak jauh. Padahal  saat itu tim berjuluk Mutiara Hitam bermain di tengah tekanan dan teriakan rasisme.

Inilah skuad Mutiara Hitam musim 2005-2006 tampil sebagai juara Liga Indonesia. Jongkok dari kiri ke kanan : Boaz T Solossa, Kapten Eduard Ivakdalam,Christian Warabay, Marwal Iskandar, Mauly Lessy. Berdiri dari kiri ke kanan: Erick Mabengga, Jendri Pitoy (GK) Christian Lenglolo, Victor Igbonefo, Ridwan Bauw dan Jack Komboy-dok

Jongkok : David Darocha, Ardiles Rumbiak, Ian Luis Kabes, Boaz T Solossa dan Kapten Eduard Ivakdalam. Belakang : Paulo Rumere, Tinus Pae, Ricardo Salampessy, Beto Gonzalves, Victor Igbonefo dan Yendri Pitoy-dokumentasi

Jongkok (depan) :Boaz T Solossa, Paulo Rumere, Korneles Kaimu, Ian Luis Kabes dan Kapten Eduard Ivakdalam. Berdiri belakang : Bio Pauline Pierre, Albeto Gonzalves, Ricardo Salampessy, Jendry Pitoy(GK) Jack Komboy dan Victor Igbonefo-dokumentasi

Depan jongkok : Moses Banggo, Ian Luis Kabes, Zah Rahan, Imanuel Wanggai, Kapten Gerald Pangkali. Belakang berdiri : Ricardo Salampessy, Bio Pauline, Ortisan Solossa, Yohanes Tjoe, Beto Gonzalves dan Yoo Jae Yoon (GK)-dokumentasi.

Skuad musim 2005-2006 : Depan jongkok : Paulo R Erick Mabengga, David Darocha, Marwal iskandar, Jack Komboy. Belakang : Mauly Lessy, Boaz T Solossa, Victor Sergio, Victor Igbonefo, Christian Lenglolo dan Jendry Pitoy- Dokumentasi.

Ronny Wabia, Pemain Terbaik Liga Indonesia Kedua Yang Melejit Bersama Timnas Di Piala Asia 1996

Sumber.com – Tim nasional Indonesia memang gagal lolos ke putaran kedua Piala Asia 1996 karena hanya mendapatkan nilai 1 dari hasil draw lawan Kuwait 2-2. Tetapi pemain-pemain Indonesia telah memberikan gol-gol indah yang akan selalu diingat oleh pecandu sepakbola di Asia bahkan Dunia.  

Ronny Wabia Kepala Cabang Bank Papua Kabupaten Sarmi

Bahkan secara resmi AFC telah mencatatkan dua nama pemain Indonesia dalam rentetan gol-gol terbaik Asian Cup 1996 yang telah dirilis oleh AFC. Dua pemain tersebut adalah Widodo Cahyono Putro dan Ronny Wabia.

Pertama, gol yang dicetak oleh Widodo Cahyono Putro ketika Indonesia melawan Kuwait.  Ronny Wabia menyerang pertahanan Kuwait dari sisi kanan. Ronny mengumpan ke Widodo. Dan Widodo melakukan tendangan salto pada menit 20 dan GOL.

Seisi stadion Mohammed Bin Zayed, Uni Arab Emirat, gempar karena begitu indahnya gol menembus gawang Kuwait, sehingga penjaga gawang  Khaled Al Fadhli cuma bisa bengong. Gol ini terpilih menjadi gol terbaik sepanjang Piala Asia 1996. Bahkan kemudian AFC menetapkan sebagai “Gol Terbaik AFC Tahun 1996”.

Berdiri : Ferry Youwe, Eduard Ivakdalam, Bako Sadissou K’re, Helconi Hermain, Jacob Kamasan Komboy, Ebanda Timothe. Jongkok : Ridwan Bouw, Ronny Wabia, Victor Pulanda, Chris Yarangga, Eduard Isir #MemoriLigina

Kedua, gol yang dicetak oleh Ronny Wabia. Pada pertandingan yang sama melawan Kuwait,  gol yang sangat indah ini tercipta pada menit ke 40.  Ronny Wabia melakukan tendangan volley first time sangat keras dari luar kotak penalti, memanfaatkan bola muntah yang ditepis oleh penjaga gawang  Kuwait.     

Sedangkan gol ketiga yang dicetak oleh Ronny Wabia ketika Indonesia melawan Korea Selatan, perlu disampaikan disini sebagai gol  yang spektakuler juga. Gol ini tercipta begitu indah dari hasil tendangan sudut untuk Indonesia.

Ronny yang sangat kuat tendangan kaki kirinya langsung menendang bola. Dan bola yang datang sangat keras ditip oleh penjaga gawang Korea Selatan tetapi malahan masuk ke tiang dekat gawang Korea Selatan sendiri. 

Bawa Persipura Promosi dan Juara PON Papua

Karir Ronny Wabia dimulai di Persipura Junior dan disiapkan oleh Hengky Heipon, HB Samsi dan Hengky Rumere yang menemukannya di PPLP. Sekumpulan pemain hebat yang dikenal dalam “Heroik Class of 1986” ini berisi para pemain seangkatan yang luar biasa dan bersinar di kemudian harinya.

Para jebolan PPLP Papua yang berisi Ritham Madubun, Ronny Wabia, Chris Leo Yarangga, Aples Tecuari dan beberapa lainnya dalam 3 bulan berhasil menjuarai PON 1993 di ajang sepakbola dengan mengalahkan Aceh dengan skor fantastis 6-3 di final dan membawa Persipura promosi ke divisi utama.

Keempat nama itu yang kemudian menjadi tulang punggung timnas Indonesia. Para pemain Papua tersebut pun menyebar Ritham ke PSM, Ronny Wabia dan Chris Yarangga tetap bersama Persipura, Aples Tecuari ke Italia bersama timnas Primavera dan kemudian bergabung Pelita Jaya

Persipura yang di tulang punggungi Ronny Wabia dan Chris Yarangga pun bersinar hingga melaju sampai Semifinal Liga Indonesia kedua 1995/1996. Pencapaian itu merupakan prestasi tertinggi Persipura kala itu yang baru saja promosi dan juga mencatatkan rekor tidak terkalahkan di kandang sendiri dengan 11 kali kemenangan dan 4 hasil imbang dari 15 laga kandang.

Di musim itu Persipura melakukannya tanpa pemain asing hanya gagal melangkah ke final karena kalah dari PSM Makasar 4-3. Gagal ke final, Ronny Wabia pun masih bisa tersenyum karena penampilan impresifnya sepanjang kompetisi membuatnya dinobatkan jadi pemain terbaik Liga Indonesia kedua.

Debut Timnas yang Manis

Piala Asia 1996 adalah penampilan pertama Ronny Wabia di tim nasional Indonesia. Pelatih Danurwindo sudah lama mengamati kemampuan olah bola pemain asal Persipura Jayapura Ronny Wabia ini. Ronny Wabia adalah pemain kidal yang sangat kuat tendangan kaki kirinya di posisi gelandang serang atau penyerang lubang (second striker). 
      
Ronny Wabia menunjukkan konsistensi permainannya sebagai gelandang serang atau penyerang lubang (second striker)  yang  haus gol. Kemampuan dribble melewati 2-3 pemain lawan sudah menjadi makanannya sehari-hari sejak menjadi pemain utama Persipura.

Ronny Wabia juga  mampu memberikan assist yang baik bila dia mengumpan dari sayap. Dia cerdas dalam membuka ruang untuk memudahkan rekan-rekan gelandang Persipura mengirimkan umpan terobosan kepadanya.  

Dan tentunya, kemampuan Ronny Wabia melepas tendangan keras kaki kirinya dari luar kotak penalti lawan merupakan senjata andalannya. Semua kemampuan itu ditunjukkan oleh Ronny Wabia dalam kompetisi Liga Indonesia 1995/1996 yang membuatnya terpilih jadi pemain terbaik. 

Itulah agaknya yang menjadi salah satu pertimbangan utama Danurwindo memilih Ronny Wabia sebagai second striker untuk diduetkan dengan Widodo Cahyono Putro sebagai striker tim nasional Indonesia menghadapi Piala Asia 1996 di Uni  Arab  Emirat ketika itu. 

Dipanggil Timnas Pra Piala Dunia 1998

Penampilan Ronny Wabia yang impresif di Liga Indonesia 1995/1996 dan Piala Asia 1996 menjadi  dasar pelatih tim nasional Indonesia untuk memanggil lagi Ronny Wabia ke tim nasional untuk pertandingan kualifikasi Piala Dunia 1998 yang akan dilangsungkan secara home and away. Pertandingan home 6 April 1997 di Jakarta,  Indonesia dan away 27 April 1997 di Phenompen, Kamboja. 

Di kandang, Indonesia bermain sangat atraktif dengan gol-gol yang sangat indah. Indonesia melumat Kamboja dengan skor 8-0. Ronny Wabia kembali menyumbang gol lagi, kali ini 2 gol. Jadi Ronny Wabia telah tampil bersama tim nasional Indonesia sebanyak 4 caps dengan 4 gol. Pada pertandingan away, Indonesia ditahan Kamboja dengan skor 1-1.

Ronny Wabia memang sangat terkesan dengan penampilannya bersama tim nasional Indonesia. Begitu pula selama mengarungi kompetisi Liga Indonesia bersama Persipura Jayapura.

Namun Ronny Wabia juga belum puas mereguk kepuasan pribadi  sebagai pesepakbola. Karena Ronny Wabia belum berhasil mengangkat satu pun trofi kejuaraan, baik atas nama Persipura Jayapura maupun atas nama tim nasional, sampai Ronny Wabia memutuskan pensiun sebagai pemain sepakbola pada 2002.

Setelah dirinya pensiun, asa Persipura untuk jadi juara pun terwujud. Para yunior penerusnya sudah mulai unjuk gigi mengibarkan bendera Persipura Jayapura di peta elite sepakbola Indonesia. Boaz Solossa  dan kawan-kawan mampu membawa Persipura ke era kejayaan juara kompetisi Liga Indonesia pada tahun 2005.

Persipura juga berhasil menjadi juara Liga Super Indonesia (Indonesia Super League/ISL) musim 2008-2009; ISL musim 2010-2011 dan ISL musim 2013.  Persipura juga meraih sukses ganda dengan menempatkan Boaz Solossa sebagai Top Skorer pada ISL 2008-2009 dengan 28 gol; ISL 2010-2011 dengan 26 gol dan ISL 2013 dengan 23 gol.

Kini sehari-hari Ronny Wabia larut dengan kesibukan bekerja sebagai Kepala Cabang Bank Papua di kabupaten Sarmi, Papua.(*)

Eddy Sabenan, Libero Tangguh Asal Merauke Dicap Paul Breitner Oleh Wiel Coerver

Sumber.com – Bagi penonton sepakbola Senayan pada final Piala Suharto III Tahun 1976 pasti akan terpukau dengan penampilan libero atau bek tengah Persipura Jayapura asal Merauke, Eddy Sabenan.

Edi sabenan

Gaya bermainnya mirip para libero yang bermain di kompetisi sepakbola Eropa. Sosok fisik dan profil wajah Eddy Sabenan kalau belakangan di era 1990-an dan 2000-an bisa disandingkan mungkin mirip Cristian Karembeu, pemain kelas dunia asal Perancis yang leluhurnya asal Kaledonia Baru, yang ikut berperan bagi tim nasional Perancis memenangi Piala Dunia 1998.  

Eddy Sabenan memang tampil impresif di final Piala Soeharto III Tahun 1976 itu. Eddy Sabenan memiliki visi permainan yang bagus, mampu membaca jalan permainan dari posisinya sebagai libero dan banyak bicara memberikan petunjuk kepada teman-teman di depannya tentang situasi lapangan.

Pandai mengantisipasi umpan-umpan terobosan lawan. Dan sesekali Eddy Sabenan menguasai bola akan mampu melakukan serangan balik cepat dan bekerjasama dengan temannya gelandang serang untuk mengkreasi serangan yang mengejutkan.

Bakat besar yang dimiliki Eddy Sabenan mulai terpantau ke permukaan ketika Eddy Sabenan tampil bersama Persimer Merauke dalam turnamen Piala Acub Zainal 1974. Gubernur Irian Barat ketika itu, Acub Zainal sangat peduli terhadap kemajuan olahraga di Irian Barat (Papua sekarang).

Maka untuk meningkatkan gairah bersepakbola dan meningkatkan kualitas persepakbolaan di Papua, Gubernur Acub  Zainal menginisiasi turnamen sepakbola yang diberi nama Piala Acub Zainal. Turnamen ini diikuti oleh 9 kesebelasan yang ada di Papua yakni Persipura Jayapura, Persiwa Wamena, Persis Sorong, Perseman Manokwari, Persimer Merauke, Persifa Fakfak, Persinab Nabire, Perseru Serui dan PSBS Biak.   

Sejak awal, Persipura Jayapura difavoritkan menjuarai turnamen Piala Acub Zainal 1974. Persipura Jayapura memang menjadi kiblat sepakbola Papua dan hampir semua pesepakbola muda dari kabupaten-kabupaten di Papua bercita-cita dan berkeinginan suatu ketika bergabung dengan Persipura.

Oleh karena itu, turnamen Piala Acub Zainal 1974 menjadi ajang unjuk kemampuan para pesepakbola muda Papua agar ditarik menjadi pemain Persipura Jayapura.  

Setelah melalui pertandingan-pertandingan di babak penyisihan, turnamen Piala Acub Zainal 1974, mengerucut kepada tiga tim yang menonjol dan memenangi banyak pertandingan.  

Persipura Jayapura yang diperkuat oleh pemain-pemain terbaik Hengky Heipon, Timo Kapisa, Tinus Heipon, Jafet Sibi, Hengki Rumere; tentu dalam deretan teratas.

Kemudian Perseman Manokwari yang diperkuat oleh pemain-pemain muda berbakat Johanes Auri, Marten Jopari dan Marthen Burwos.  

Dan yang mengejutkan adalah penampilan memukau Persimer Merauke yang diperkuat oleh pemain-pemain muda Martinus Marisan dan Eddy Sabenan. Final Piala Acub Zainal 1974 pun akhirnya menampilkan Persipura Jayapura melawan tim yang mendapat julukan “Rusa dari Gerbang Timur Nusantara”; Persimer Merauke.

Dalam pertandingan yang sangat ketat, penyerang berteknik tinggi Persipura Timo Kapisa yang ditopang umpan-umpan matang kakak beradik Hengky Heipon dan Tinus Heipon dari lapangan tengah, ternyata tidak mudah mengobrak-abrik pertahanan Persimer Merauke.

Timo Kapisa tidak mudah melampaui libero Persimer Merauke Eddy Sabenan, yang sangat kokoh mengomandoi dalam mempertahankan jengkal demi jengkal pertahanan Persimer Merauke.  

Akhirnya Persimer Merauke membuat kejutan besar berhasil menjadi juara Piala Acub Zainal 1974 dengan mengalahkan Persipura dengan skor ketat 3-2. Sementara tim Perseman Manokwari keluar sebagai juara ketiga.

Eddy Sabenan dan kawan-kawan pun untuk pertama kali mengangkat trofi Piala Acub Zainal 1974. Dan Acub Zainal pun sumringah ternyata Papua tidak hanya memiliki Persipura Jayapura yang hebat tetapi juga Persimer Merauke yang mampu menandingi dan bahkan mengalahkannya dan Perseman Manokwari mampu menguntitnya. 

Setelah selesai  Piala Acub Zainal 1974, Eddy Sabenan dan Johanes Auri mau diajak bergabung oleh Hengky Heipon, kapten Persipura, untuk bermain di Persipura. Kehadiran Eddy Sabenan di posisi libero dan Johanes Auri di bek sayap kiri, semakin memperkokoh pertahanan Persipura Jayapura.

Persipura Jayapura yang cenderung kuat di gelandang dan penyerangan, sekarang menjadi tim yang seimbang pada semua lini. Bagi Persipura Jayapura ini sangat penting karena akan menghadapi hajatan besar dan bergengsi di Piala Soeharto III 1976 di stadion Senayan Jakarta pada bulan April 1976. 

Trofi Kedua Piala Soeharto III Tahun 1976

Selain ada kompetisi Divisi Utama Perserikatan, PSSI juga memiliki turnamen spesial yang sangat bergengsi bagi “5 Besar Tim Divisi Utama Perserikatan” memperebutkan “Piala Soeharto”. Dan perhelatan di bulan April 1976 adalah kejuaraan “Piala Soeharto III”. 

Persipura Jayapura yang dianggap tim “underdog” ternyata lolos dari penyisihan grup dengan nilai di klasemen akhir adalah kedua tertinggi dibawah Persija. Persija bernilai 6 dengan gol rata-rata 8-6. Nilai Persipura Jayapura sebenarnya sama dengan Persebaya Surabaya yakni 5, namun Persipura menang gol rata-rata 11-6  dibanding Persebaya 10-5. Dengan demikian Persipura yang berhak menantang Persija di partai grand final pada tanggal 19 April 1976.  

Persija berada di atas angin. Persija dengan dibekali pemain-pemain berkualifikasi pemain nasional, sangat dijagokan oleh media nasional Jakarta, akan memenangi Piala Soeharto III 1976. Namun Hengky Heipon kapten yang sangat berpengalaman di pentas sepakbola nasional membesarkan hati adik-adiknya, jangan gentar menghadapi Persija Jakarta. 

Kepada barisan belakang yang dikoordinasi libero Eddy Sabenan, Hengky Heipon berpesan agar bertarung mati-matian mempertahankan setiap jengkal pertahanan.  

Hengky Heipon bersama adik kandungnya Tinus Heipon bahu membahu dari lapangan tengah mengkreasi serangan. Dan hasilnya betul-betul segera terjawab yakni pada menit 11 Nico Patipeme menjebol gawang Persija. Kemudian penyerang Jacobus Mobilala mencetak gol pada menit 27. Penyerang muda Pieter Aitamuna menjebol lagi gawang Persija pada menit ke 31. Persipura sudah unggul atas Persija 3-0 di awal babak pertama.

Namun Persija yang merasa tersentak dengan keunggulan Persipura, berturut-turut membalas melalui striker tajam tim nasional Risdianto pada menit 36 dan kapten Persija Iswadi Idris menjebol gawang Persipura pada menit 41. Kedudukan sampai wasit meniup peluit tanda turun minum adalah 2-3 untuk Persipura.

Memulai babak kedua, jual beli serangan terus terjadi. Striker andalan Persipura yang memiliki teknik tinggi, Timo Kapisa menjebol gawang Persija pada menit ke 67. Skor menjadi 2-4. Dengan keunggulan Persipura 2-4, semula Persipura berharap dapat dipertahankan sampai akhir pertandingan.

Ternyata Iswadi Idris dapat memperkecil kekalahan Persija menjadi 3-4, setelah mencetak gol pada menit ke 90. Akhirnya Persipura memenangi pertandingan melawan Persija dengan skor 3-4 dan memastikan meraih Piala Soeharto III 1976. 

Dan Hengky Heipon sebagai kapten Persipyra pun mengangkat trofi Piala Soeharto III Tahun 1976 tinggi-tinggi  setelah Wakil Presiden RI Adam Malik menyerahkannya. Anak-anak Persipura menangis bangga ketika jenderal Acub Zainal menyambut kemenangan mereka di pinggir lapangan di depan tribun VIP Barat stadion utama Senayan.

Eddy Sabenan pun jadi sosok tangguh yang menginspirasi di lini belakang bangga dengan trofi keduanya dalam karirnya ini.

Dipanggil Timnas Pra Olimpiade 1976 

Ternyata sepanjang hajatan Piala Soeharto III Tahun 1976, Wiel Coerver pelatih timnas Pra Olimpiade Montreal 1976 dengan asisten pelatih Wiem Hendrieks dan Ilyas Hadade,  memantau dengan seksama performa para pemain yang bertanding. 

Eddy Sabenan menjadi perhatian utama Wiel Coerver karena penampilannya sebagai libero atau bek tengah sangat memikat dan sudah mendekati kualitas Eropa.  Apalagi di barisan belakang tim nasional Indonesia, Wiel Coerver belum puas dengan penampilan sebagian pemainnya.

“Penampilan Eddy Sabenan seperti Paul Breitner,” Wiel Coerver tak dapat menutup rasa kagumnya terhadap penampilan Eddy Sabenan.

Paul Brietner adalah stopper asal Jerman yang pada saat itu berhasil menjadi juara dunia 1974 membentuk trio bersama libero Franz Beckenbauer dan Berti Vogts. Gondrong dan berbulu lebat secara fisik membuatnya memiliki kemiripan dan lugas dalam penempatan dan bertahan jadi tambahan pujian.

Ada 4 pemain Persipura Jayapura yang dipanggil oleh Wiel Coerver yakni Eddy Sabenan, Johanes Auri, Hengky Heipon dan Robby Binur. Dalam proses penggodokan dan analisis penetapan pemain utama terpilih di pelatnas, berlangsung  sangat alot. 

Hengky Heipon kalah bersaing dengan gelandang-gelandang Junaedi Abdillah dan Iswadi Idris. Tetapi Hengky Heipon tidak dipulangkan bahkan ditambah tugas baru dari Wiel Coerver menjadi penterjemah Bahasa Belanda yang sangat dikuasai oleh Henky Heipon.

Sedangkan striker Robby Binur meskipun memiliki teknik tinggi tetapi kalah jam terbang dan pengalaman internasional dengan Risdianto, Waskito dan Andi Lala.

Maka tinggal 2 pemain Persipura yang masih memerlukan pengkajian lebih mendalam. Johanes Auri yang sejak awal pelatnas dikagumi oleh Wiel Coerver sebagai bek sayap kiri modern dengan kemampuan dribble sangat cepat dan kemampuan transisi menyerang kembali ke bertahan yang sangat baik.

Meski dipuji Auri pun sering masih dikritik Coerver karena masih sering gugup dalam bermain. Tetapi asisten pelatih Ilyas Hadade tetap membela dan merekomendasikan untuk mempertahankan Johanes Auri untuk menjadi bek kiri disamping bek-bek Lukman Santoso, Harry Muryanto. Dan tentu saja, Sutan Harhara yang mampu bermain di kiri dan kanan sama baiknya. 

Sedangkan Wiel Coerver yang telah memberi cap “Paul Breitner” kepada Eddy Sabenan mulai menganalisis lebih mendalam Eddy Sabenan.

 “Dia terlalu lambat, karena badannya gemuk. Mungkin akibat cederanya yang lama sehingga tak dapat cepat memulihkan kondisinya,”kata Coerver, yang terlanjur berjanji akan memberikan “uang taruhan” 10 ribu Gulden seandainya Eddy Sabenan masuk “starting eleven”.  

Tetapi para pemain pelatnas mengkritik dan menyindir Coerver yang nyaris mengeluarkan uang 10 ribu Gulden dari kantongnya: “Mungkin gaji bulan terakhir Coerver belum dibayar oleh PSSI. Jadi janji ke Eddy Sabenan ditunda”. 

Untuk mengantisipasi keputusan akhir Coerver untuk urusan pertahanan, sementara Coerver masih kepada keputusan untuk menempatkan Suhatman berduet dengan Oyong Liza. Eddy Sabenan pun tetap masih berada di jajaran pemain peserta pelatnas PSSI Pra Olimpiade Montreal 1976 dan harus selalu siap untuk menerima penugasan sebagai pemain tim nasional Indonesia.

Dari berbagai analisis mendalam tentang keunggulan tim nasional Korea Utara yang menjadi favorit untuk lolos Pra Olimpiade Montreal 1976, Wiel Coerver mendapat informasi dari koleganya pelatih  Grasshopper.

“Korea Utara dipersiapkan 2 tahun untuk kualifikasi Olimpiade Montreal. Sistim mereka tak banyak bedanya dari sistim Eropa Timur. Dalam serangkaian pertandingan percobaan di Uni Soviet, mereka tidak terkalahkan. Korea Utara tidak diragukan lagi adalah kesebelasan kuat”. 

Wiel Coerver juga mendapat laporan dari Wiem Hendriks, asistennya, yang melihat dengan mata kepala sendiri latihan tim nasional Korea Utara di stadion Senayan. Dia langsung menemui Coerver untuk membeberkan kesan pertama.

“Tinggi badan mereka minimal 1,70 meter. Tubuh mereka sebesar saya. Dalam latihan penjagaan satu-lawan-satu, mereka tampak mampu mengembangkan permainan dalam tempo tinggi dalam 90 menit penuh”. 

“Dalam personaliti saya yakin Indonesia lebih unggul dibanding Korea Utara,” Coerver mencoba mencari terobosan. Wiem Hendriks tidak menjawab kata-kata Coerver dan hanya terus mendengarkannya. 

Dan seperti analisis para pengamat, Korea Utara dipastikan mendapatkan tiket final kualifikasi Pra Olimpiade Montreal 1976 di Jakarta, terlebih dulu, setelah memenangi semua pertandingan di babak grup. Indonesia yang akhirnya menjadi penantang Korea Utara di final, setelah menyisihkan Malaysia untuk mendapatkan posisi kedua klasemen grup.

Indonesia bertemu dengan Korea Utara dalam suatu pertandingan yang sangat menegangkan dan menyedot banyak energi. Dalam waktu normal 2×45 menit Indonesia bermain imbang dengan Korea Utara dengan skor 0-0. Begitu pula setelah perpanjangan waktu 2×15 menit, skor masih 0-0. Sehingga penentuan pemenang harus dilakukan dengan adu penalti. 

Tiga penendang pertama Indonesia Iswadi Idris, Junaedi Abdilah dan Waskito semuanya berhasil menjebol gawang Korea Utara. Indonesia bahkan unggul 3-2 karena Ronny Paslah berhasil menggagalkan tendangan pemain Korea Utara. Dan stadion Senayan serasa akan mau runtuh dengan kegirangan 120 ribu penonton karena Indonesia unggul.

Tinggal selangkah lagi lolos, namun ternyata berikutnya tendangan dari Oyong Liza berhasil ditepis oleh penjaga gawang  Jin In Chol. Akhirnya Korea Utara bisa menyamakan kedudukan menjadi 3-3 dan membawa adu penalti tersebut ke babak “sudden death” setelah tendangan Anjas Asmara terlalu lemah dan dengan mudah ditahan oleh Jin In Chol.

Korea Utara yang menjadi penendang pertama babak ini, berhasil membobol gawang Ronny Paslah, untuk unggul 4-3.  Risdianto berhasil menyamakan kedudukan; 4-4.  Korea Utara kembali unggul 5-4 setelah Ronny Paslah gagal menghalau tendangan Hong Song Nam. 

Kini beban berat ada di pundak Sueb Rizal karena lolos tidaknya Indonesia berada di kakinya. Suaeb Rizal sebagai penendang ke tujuh maju ke titik putih dengan penuh percaya diri. Mungkin karena terlalu percaya diri atau memang sudah takdir Indonesia, ternyata tendangan penalti Sueb malah melenceng jauh dari gawang Korea Utara.  

Indonesia pun kalah terhormat dari Korea Utara. Dan tim nasional Korea Utara yang akhirnya mendapat tiket untuk terbang ke Olimpiade Montreal Kanada. 

Eddy Sabenan yang untuk pertama kalinya dipanggil masuk tim nasional Indonesia, merasakan bagaimana dia dapat menyerap banyak ilmu selama di pelatnas;  baik teknis permainan dari pelatih kelas dunia Wiel Coerver, maupun pengalaman dari senior-seniornya terutama Junaedi Abdillah dan Iswadi Idris. 

Lebih banyak main dari bangku cadangan tidak membuat Eddy kecewa. Dia justru bangga. Meski tak jadi pilihan utama tapi Sabenan adalah generasi bek Papua yang sukses di era 70an yang tak banyak diketahui oleh banyak orang sepak terjangnya.

“Kalau PSSI secara tim tidak sekuat Korea Utara, paling tidak Iswadi Idris, Junaedi Abdillah,  Risdianto, Waskito dan Andi Lala memiliki kelebihan variasi untuk mengembangkan inisiatif perorangan. Mereka ini saya nilai merupakan formasi yang dapat merobek-robek pertahanan lawan dan tidak di bawah barisan penyerang Eropa yang mana saja.  Jadi harapan saya tertumpu pada garis depan,” .

Persipura juara Soeharto Cup III 1976. Berdiri dari kiri kekanan Johanes Auri, Edi Sabenan, Pieter Aitiamuna, Jimmy Pieter, Jafet Sibi dan Kapten Persipura Hengki Heipon. Jongkok dari kiri kekanan Alo Tortet, Marthen Jopari, Jakobus Mobilala, Timo Kapisa dan Nico Patipeme-dok Facebook.com Johanes Auri

Jackson F Tiago Menggagas Persipura Yosim Samba Dari Timur

Laporan dominggus a mampioper dari Jayapura. Goal.com Indonesia

Ada kemiripan antara anak-anak Brasil dan Papua dalam bermain sepakbola.

Banyak pengamat menilai keberhasilan Persipura tak lepas dari peran dua tokoh, masing-masing Ketua Umum MR Kambu dan Manajer Rudi Maswi. 

Bagi mantan pelatih Persipura asal negeri jiran Malaysia, M. Raja Isa, MR Kambu adalah sosok yang sangat tegas, sementara Rudi Maswi dikenal sangat bijaksana.

Berbeda dengan pendapat Rully Nere. Mantan pelatih PON Papua 2004 itu justru menilai kunci sukses Persipura adalah peran sentral Rudy Maswi. Sebab, menurutnya, kebersamaan dan kekeluargaan telah berhasil dibangun, termasuk dengan keluarga pemain, terutama istri-istri pemain yang diperbolehkan ikut berangkat mendukung suami-suami mereka saat kompetisi.

Namun, di balik semua kesuksesan, baik pihak menajemen, pemain, dan para suporter, sebenarnya kunci keberhasilan pemain terletak di mana peran seorang pelatih dengan bebas menentukan pemain tanpa intervensi pihak menajemen. Pelatih Jackson Ferreira Tiago juga sangat besar tanpa ada intevensi dari pihak manapun dia mampu meracik pemain sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan tim.

Meski demikian, setiap kali Persipura meraih kemenangan, pelatih kelahiran 28 Mei 1968 itu tak pernah jumawa dan berbesar kepala. Kerendahan hati selalu ditanamkan dalam dirinya dan setiap pemain Persipura. “Ingat kita memenangkan pertandingan ini dengan susah payah,” kata JF. Tiago. Bahkan, ketika Persipura mendekati tangga juara, ia mengatakan, “Jangan terjebak dalam banyak pujian.”

Kini setelah Persipura merebut juara Superliga Indonesia 2010/11, dia kembali mengingatkan jangan terlalu lama merayakan pesta kemenangan. Tugas penting masih menanti mengantar Boaz Solossa meraih gelar pencetak gol terbanyak dan meraih sukses secara bersama-sama di Piala AFC.

Lalu, bagaimana pendapat JF. Tiago tentang sepakbola di Papua dan di Brasil, tanah kelahirannya?

Ada kemiripan antara anak-anak di Brasil dan para bocah Papua dalam bermain bola. Anak-anak Papua selalu menggunakan satu dua sentuhan dan passing sembari tertawa, tersenyum sewaktu berlari, menggiring bola dan mencetak gol sebanyak-banyaknya. Mereka sungguh menikmati saat-saat indah bermain bola.

“Ini adalah salah satu kemiripan yang dilakukan anak-anak Papua dan anak-anak Brasil ketika bermain bola,” tutur JF. Tiago mengenang masa kecilnya di Kota Rio de Jeneiro, ibukota Brasil.

Apalagi, lanjut dia, anak-anak di sana bermain bola dengan kecepatan, kelenturan tubuh, dan keindahan seperti orang bermain tarian karnaval. Atau mungkin pula tarian Samba gaya Brasil. “Sama halnya dengan anak-anak di Tanah Papua yang bermain bola dengan kelenturan tubuh,
kecepatan kaki, dan keindahan seperti orang sedang menari tarian Yosim,” tutur pelatih yang telah dua kali mengantarkan Persipura juara Superliga, yakni musim 2008/09 dan 2010/11.

Goyang karnaval butuh kelincahan kaki dan kelenturan tubuh, dribling dan menipu lawan sembari seluruh badannya bergoyang adalah kemiripan karnaval Samba dalam sepakbola Brasil. Karnaval adalah budaya yang sangatdigemari masyarakat Brasil. Kelincahan kaki dan kelenturan tubuh seringkali digunakan anak-anak Brasil dalam bermain sepakbola. Jogo
Bonito atau sepakbola indah identik dengan anak-anak Brasil. Mereka bermain dengan menggunakan sentuhan indah. Gol-gol yang dicetak berawal dari satu dua sentuhan (one-two touch) dan passing serta teknik yang indah tanpa benturan badan.

Jacksen F Tiago juga juga sangat mengagumi keindahan alam dan panorama serta kebudayaan di Papua. Baginya, keadaan ini tak berbeda jauh dengan tanah kelahirannya di kawasan Amazone Brasil. ”Pemain sepakbola dapat mengekspresikan kenikmatan bermain bola dengan tersenyum, maka kemampuan mereka ikut pula berkembang,” tutur ayah dari
Matheus Tiago dan Ayub Tiago. (gk-34)

Jacksen F Tiago dan skuad Persipura 2008-2009

Jayapura, GP-Pelatih Persipura Jacksen F Tiago tak memungkiri kalau mantan Ketua Umum Persipura MR Kambu yang pertama kali memanggilnya untuk melatih tim berjuluk Mutiara Hitam. Apalagi waktu itu terjadi insiden pemukulan di pinggir lapangan terhadap mantan pelatih Persipura M Raja Isa saat Eduard Ivakdalam dan kawan-kawan bermain imbang melawan Persjia Jepara.

Pertandingan melawan Persijap Jepara, tim Mutiara Hitam nyaris kalah di depan pendukung Persipura di Stadion Mandala, 15 Agustus 2008. Saat Persipura tertinggal 0-1 pada menit ke 80, tiba-tiba mantan pelatih Persipura M Raja Isa menghindari  perlakukan kekerasan dan berlari masuk ke lapangan. Akibatnya pertandingan pun berhenti sejenak. Jelang babak kedia berakhir, Eduard Ivakdalam dan kawan-kawan berhasil menyamakan kedudukan hingga skor berubah 1-1.

Usai pertandingan pelatih M Raja Isa langsung meninggalkan tim Mutiara Hitam, asisten pelatih Mettu Dwaramurry sementara menggantikan posisi pelatih kepala Persipura. Selang beberapa waktu kemudian Ketua Umum Persipura dan menejemen mengontrak pelatih asal Brasil Jacksen F Tiago membesut tim berjuluk Mutiara Hitam sejak September  2008.

“Saya datang ke Persipura karena ada masalah,”kata Jacksen F Tiago kepada jubi.co.id beberapa waktu lalu. Dia mengenang saat itu baru pertama kali menukangi Eduard Ivakdalam sehingga tak mungkin merombak tim yang sudah dibentuk pihak menejemen dan pelatih.

Perlahan tetapi pasti, Eduard Ivakdalam dan kawan-kawan terus semakin padu dan meraih prestasi laga demi laga. Pelatih Jacksen F Tiago tak merubah atau pun menggantikan pemain hanya melanjutkan tim dengan materi pemain yang ada.

Jacksen F Tiago memakai 22 pemain yang dikontrak menejemen dan pelatih Persipura saat itu Raja Isa Bin Raja Akram dari Malayasia. Launching pemain Mutiara Hitam dimeriahkan oleh Trio Macan. Susunan tim mantan runner-up Piala Copa Indonesia 2007 ini hampir seluruhnya merupakan pemain lama.

Penjaga gawang Jendry Pitoy, Ferdiansyah, dan Jacoob Haay. Pemain belakang dipercayakan pada Ricardo Salampessy, Jack Komboy, Paulo Rumere, Ian Louis Kabes, Heru Nerly, Ardilles Rumbiak, dan pemain asing Bio Paulin Pierre.

Lapis gelandang diisi Eduard Ivakdalam, Ortisan Salossa, Gerald Pangkali, Imanuel Wanggai, serta pemain asing Victor Igbonefo dan David Darocca. Sedangkan eksekutor bola ke gawang lawan diperkuat Boaz T Salosa, Stevi Bonsapia, Kornelis Kaimu, Tinus Pae, serta skuad asing C Ernest Jeremiah, Alberto Beto Gonsalves.


Hasil dari skuad ini, tim Mutiara Hitam memperoleh poin tertinggi pada musim 2008/2009, dengan poin akhir 80 dari 34 pertandingan dan hanya menderita  empat kali kekalahan. Trisula maut Persipura Boaz, Beto dan Ernest Jeremiah menjadi striker menakutkan, sehingga mengantarkan Boaz jadi pencetak gol terbanyak 28 gol dan pemain terbaik.

Mantan pelatih dan pemain Persib Djajang Nurjaman menilai tim Mutiara Hitam memang layak juara. Persipura sangat kuat, materi tidak banyak berubah setiap tahun, dan taktik serta strategi Jacksen memang membuat Persipura sangat kuat di pertahanan dan bahaya dalam serangan.

Pelatih Jacksen F Tiago sendiri mengakui dalam meracik tidak akan selalu berpatokan pada skema atau pola permaianan baik 4-2-3-1 atau 4-4-3. Menurut Jacksen pola hanya nomor saja menggambarkan tim dalam bertanding.

“Saya tidak suka pola,”katanya beberapa waktu lalu, sebab menurut Jacksen fleksibilitas dalam permainan sangat tinggi dan yang bisa menentukan pola itu adalah kinerja tim. “Tetap 11 lawan 11 yang membuat formasi itu berhasil adalah kinerja dari pemain di lapangan,”katanya.

Pelatih Jacksen terus membawa Persipura juara sejak musim 2008-2009, runner up 2009-2010, juara 2010-2011 dan juara ISL 2012-2013. Tak heran kalau pelatih Jacksen F Tiago mengatakan kalau bapak MR Kambu akan tetap mendoakannnya dimanapun berada. Mantan ketua umum Persipura MR Kambu kata Jacksen sangat berprinsip takut akan Tuhan.(*)

Jacksen F Tiago, waktu terbatas hanya dua pemain menonjol

Jayapura, Jubi – Persipura kembali menyeleksi pemain lokal Papua berbakat, meski waktu sangat terbatas sehingga yang terlihat hanya dua pemain menonjol. Terutama aspek kognitif yang menjadi penting dalam sebuah pertandingan.

“Kita melihat beberapa pemain yang menonjol terutama dari aspek kognitif yaitu menjadi salah satu hal penting. Kogintif adalah saat di mana seorang pemain itu cerdas dalam mengambil keputusan, juga saat mendapat tekanan. Karena pemain-pemain seperti itu pasti lebih mudah untuk menerapkan informasi yang kita berikan kepada mereka dalam sebuah pertandingan,” katanya kepada Jubi usai menyaksikan dari pinggir lapangan seleksi pemain di lapangan PLTD Waena-Kota Jayapura, Kamis (23/1/2020).

menonjol saja tetapi melihat aspek permainan kolektivitas tim.

“Kita mengambil pemain yang benar-benar dari tim yang kuat, Itu menjadi patokan mulai dari karakter, keputusan, dan sikap dalam latihan sehari-hari,” kata Jacksen F Tiago seraya menambahkan patokan penting adalah karakter, agresifitas, dan keputusan.

Apalagi, lanjut dia, dalam menganalisa setiap pemain tim pelatih tidak memiliki rekaman setiap pemain sehingga menyulitkan dalam menilai.

”Kalau kita punya rekaman bisa pulang melihat kemampuan setiap pemain lebih teliti lagi,” katanya sembari mengakui kalau kemungkinan kesalahan pasti ada.

Dia menambahkan dari pemain sebanyak 33 nama termasuk dua kiper dan akan mengurangi pemain lagi dan lebih fokus dalam memilih mereka dalam latihan terakhir, Jumat (24/1/2020).

”Besok latihan terakhir kita untuk mengurangi jumlah pemain agar  kita lebih fokus dalam menilai mereka,” katanya

dua pemain lolos posisi sayap

Pantauan Jubi di lapangan, tercatat  beberapa pemain asal PSK Kajoe Pulo, PS Nafri, termasuk Tessa Yarangga anak mantan striker Persipura Christ Leon Yarangga. Salah seorang pemain asal Nafri Maniagasi menambahkan bangga bisa ikut seleksi klub Persipura.

Kompetisi antar klub Persipura

Sementara itu mantan pelatih SSB Emsyik, Yohanes Songgonao, mengakui kalau waktu memang terbatas berbeda kalau ada kompetisi pasti setiap pemain akan mengeluarkan semua kemampuannya.

“Ini jelas akan membuat tim talents scouting sulit melihat karakter dari setiap pemain,” katanya seraya menambahkan mestinya klub Persipura melakukan kompetisi antar klub di Kota Jayapura sehingga memberikan banyak waktu bagi tim talents scouting ikut memilih.

“Saya bangga dan berharap ada pemain pemain dari SSB Emsyik bisa mengikuti jejak Patrick Womsiwor. Saat ini ada tiga pemain dari Emsyik yang ikut masing masing Tessy Iwanggin, Edison Siep, dan Almon,” katanya.

Hal senada dikatakan Ketua Lembaga Adat (LMA) Port Numbay, George Awi. Kompetisi yang teratur di Kota Jayapura akan melahirkan banyak pemain berbakat.

“Saya lihat kalau kompetisi berjalan lancar pasti anak-anak di kampung akan banyak menjadi pemain bola dan keluar dari masalah pengangguran,” katanya kepada Jubi, di Jayapura, Kamis (23/1/2020). (*)

Situs yang Dikembangkan dengan WordPress.com.

Atas ↑