Jayapura, GP- Sosok perempuan kelahiran Jakarta 30 Desember 1985 bukan orang sembarangan yang baru menggeluti si kulit bundar. Ia tampil bukan sebagai pesepak bola tetapi mengatur para pemain dalam berkompetisi. Memang sepak bola Indonesia butuh orang-orang yang mampu bawa sepak bola dalam industri bukan sekadar punya klub dan pemain. Percuma punya banyak pemain berbakat tetapi hanya sampai di situ dan meraih prestasi di ASEAN saja kelimpungan. Bayangkan dulu 1973 Vietnam masih berperang sekarang juara. Sebentar lagi Kamboja dan Laos menyusul lalu sepak bola Indonesia tinggal tempat dan selalu kalah lawan Vietnam.
Tak heran kalau Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) telah memilih Ratu Tisha Destria sebagai sekretaris jenderal yang baru untuk periode 2017–2020. Bayangkan sarjana matematik dari Institut Teknologi Bandung ini menyingkirkan sebanyak 29 kandidat yang mendaftarkan diri jadi sekretaris jenderal PSSI.
Wakil Ketua Umum PSSI Iwan Budianto, menyatakan PSSI memilih Ratu Tisha Destria karena meraih hasil tes yang baik di antara para kandidat. Perempuan berusia 32 tahun itu dianggap cakap dalam bidang organisasi dan pengelolaan kompetisi. Tisha juga dianggap mampu menjalin komunikasi dengan banyak pihak.
Mantan Ketua PSSI Edy Rahmayadi terpilih jadi Ketua Umum PSSI periode 2016 – Januari 2019 akhirnya jabat Gubernur Provinsi Sumatera Utara otomatis lepas jabatan. Kepemimpinan pindah ke pundak Jok Driyono dari Januari-Maret 2019 hingga terjerat kasus dan berakhir di hotel prodeo. Tampuk kepemimpinan beralih ke tangan Iwan Budionl Maret-November 2019. Melalui Konggres Luar Biasa PSSI kepempinan jatuh ke Mochamad Iriawan pada November 2019 sampai sekarang.
Berdasarkan fakta ini jelas, Ketua Umum boleh berganti-ganti tetapi Sekretaris Umum PSSI tak berpindah tangan. Ibarat pesepak bola di lapangan Sekjen PSSI ini adalah pengatur serangan guna meraih kemenangan. Sayangnya dalam permainan Ratu Tisha tak melanjutkan pertandingan di masa-masa injury time. Padahal selama jadi gelandang pengatur serangan PSSI terpilih jadi tuan rumah Piala Dunia U20. Begitupula kompetisi Liga 1 dan Liga 2 serta Liga 1 putri.
Lalu apa yang membuat si pengatur serangan ini tak memanfaatkan injury time bersama Ketua Umum PSSI yang baru? Apakah karena Ketua Umum tak perlu seorang gelandang pengatur serang dan memilih menjadi single fighter di depan gawang? Padahal dalam bermain sepak bola adalah permainan tim, tentunya peran gelandang sangat sentral.
Ratu Tisha Destria telah resmi mengundurkan diri dari jabatannya selaku Sekjen PSSI sejak Senin (13/4/2020) kemarin. Wakil Ketua Umum PSSI, Cucu Sumantri, mengatakan bahwa alasan Ratu Tisha mundur karena ingin mengabdi di tempat lain. “Tentu menyayangkan karena dia [Ratu Tisha] punya andil terpilihnya kita menjadi tuan rumah Piala Dunia U20. Namun, itu pilihan. Dia ingin mengabdi di tempat lain, kami tidak bisa mencegahnya,” ungkap Cucu Sumantri di Jakarta, Senin (14/4/2020), dikutip dari Antara.
Bisa Komjen Pol. Mochamad Iriawan Ketua Umum PSSI periode 2019-2023. Ingin meramu sesuatu yang baru sehingga para pilar lama harus keluar termasuk Ratu Tisha. Padahal dalam mengisi posisi harus sesuai Pasal 40 Statuta PSSI yang berbunyi: Mengangkat atau memberhentikan Sekretaris Jenderal atas usulan Ketua Umum. Sekretaris Jenderal harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Statuta PSSI.
Tisha diduga mengundurkan diri setelah mendapat teguran dari Djohar Arifin saat PSSI menggelar rapat dengan pendapat dengan Komisi X DPR RI. Saat itu Djohar mengkritik kinerja Tisha.
Terlepas dari semua dugaan, berbanggalah Ratu Tisha karena jebolan program Master di FIFA ini bukan sekadar masuk tetapi punya potensi. Berbanggalah sebagai perempuan Indonesia pertama menjadi Sekjen PSSI karena mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Mundur dari lapangan meski ada injury time membuat banyak pihak bertanya ada apa dibalik itu? (*)